eko 2

eko 2
eko

Selasa, 18 Januari 2011

Demokrasi Liberal


A.    Sistem dan Struktur Politik Pada Masa Demokrasi Liberal
Zaman demokrasi liberal ditandai dengan sering berganti kabinet, akibat persaingan antara partai-partai politik. partai-partai politik yang tumbuh seperti jamur di musim hujan sibuk dengan soal kabinet. Partai-partai politik berebut kekuasaan, hingga kabinet jatuh silih berganti. Akibat sering berganti kabinet, pemerintahan di Indonesia menjadi tidak stabil. Kabinet tidak dapat menjalankan programnya dengan baik. Karena sebelum sempat menjalankan programnya, kabinet telah jatuh dan diganti dengan kabinet baru. Rata-rata setiap kabinet hanya berumur satu tahun.

Pada masa berlakunya UUDS 1950 terjadi instabilas pemerintahan dibuktikan dengan 7 kali kabinet mengalami jatuh bangun yaitu:
a. Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951)
 Kabinet ini merupakan koalisi dari beberapa partai dengan intinya Partai Masyumi. Program kabinet ini antara lain:
  Usaha mendapatkan keamanan dan ketertiban
  Konsolidasi dan penyempurnaan susunan pemerintahan
  Perbaikan institusi Angkatan Perang
  Penyelesaian Irian Barat
  Mengembangkan dan memperkuat kekuatan ekonomi kerakyatan.
Kebijakan luar negeri pemerintahan Natsir adalah bebas dan netral namun tetap bersimpati pada negara–negara Barat. Pada bulan September 1950 Indonesia diterima sebagai anggota PBB (Ricklefs,1991: 363). Sementara itu permasalahan yang dihadapi kabinet tersebut adalah:
Terganggunya stabilitas keamanan (adanya pemberontakan RMS  dan DI/TII Kartosuwiryo).
Kegagalan membentuk pemerintahan koalisi antara Masyumi                dan PNI
Belanda menolak pengembalian atas Irian Barat (hasil keputusan   KMB, masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun setelah KMB tahun 1949).
Kegagalan perundingan Indonesia-Belanda tentang Irian Barat, menimbulkan mosi tidak percaya dari parlemen terhadap pemerintahan Natsir. Krisis ini bertambah dengan adanya mosi dari Hadikusumo (PNI) berkaitan pencabutan PP no 39/1950 tentang DPRS dan DPRDS yang diakomodasi parlemen sehingga kabinet Natsir jatuh.

b) Kabinet Sukiman (April 1951-Pebruari 1952)
Setelah kabinet Natsir jatuh, Presiden Sukarno menunjuk Sukiman Wiryosanjoyo (Masyumi) dan Sidik Joyosukarto (PNI) untuk membentuk kabinet koalisi. Program kabinet ini adalah:
·         Pelaksanaan politik Luar negeri bebas aktif
·         Perjuangan diplomasi merebut Irian Barat
·         Persiapan penyelenggaraan Pemilu I
·         Sosial-ekonomi, mengusahakan kemakmuran rakyat dan perbaikan hukum agraria
·         Keamanan, menjamin keamanan dan ketenteraman.
Kabinet Sukiman akhirnya jatuh disebabkan dianggap melanggar politik luar negeri bebas aktif dengan melakukan persetujan MSA (Mutual Security Act) dengan Amerika Serikat tahun 1951. MSA merupakan persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari USA kepada Indonesia.

c) Kabinet Wilopo (April 1952–Juni 1953)
Program kabinet Wilopo adalah:
·         Persiapan Pemilu (pemilihan konstituante,DPR dan DPRD)
·         Kemakmuran, pendidikan dan keamaanan
·         Pelaksanaan politik bebas aktif
·         Pengembalian Irian Barat dalam NKRI
Permasalahan yang dihadapi kabinet Wilopo adalah:

·         Munculnya gerakan separatis
·         Keadaan perekonomian dan politik belum membaik
·         Persoalan Irian Barat belum selesai
·         Munculnya peristiwa 17 Oktober 1952.
Peristiwa 17 Oktober terjadi ketika sekelompok perwira militer yang kehilangan jabatannya disebabkan mereka memaksa Presiden Sukarno untuk membubarkan parlemen (Herbert Feith, 1995:14). Hal ini bermula dari usaha perwira militer seperti Kepala Staf Angkatan Perang Repubklik Indonesia Kolonel T.B. Simatupang dan Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A H Nasution berencana melaksanakan reorganisasi dan rasionalisasi kekuatan TNI dengan memperkecil jumlah prajurit namun berjiwa profesional dan berdisiplin. Rencana rasionalisasi tersebut dalam rangka penghematan Anggaran Belanja Negara.  Program tersebut ditentang oleh kalangan militer sendiri terutama dari mantan pasukan PETA dan Laskar–laskar serta Parlemen. Bahkan parlemen mengadakan sidang menuntut diadakannya pergantian pucuk pimpinan militer. Sementara itu pihak TNI mengganggap bahwa apa yang dilakukan parlemen sebagai bukti bahwa DPRS melakukan intervensi dalam urusan internal TNI–AD. Akhirnya tanggal 17 Oktober 1952 terjadi demonstrasi yang diprakarsai militer mendesak pada presiden untuk membubarkan DPRS. Presiden Sukarno menolak tuntutan tersebut bahkan A.H. Nasiton dicopot dari jabatannya diganti dengan Kolonel Bambang Sugeng.
Dampak dari peristiwa tersebut mempengaruhi masalah pemerintahan termasuk kedudukan kabinet Wilopo. Kabinet ini semakin lemah ketika terjadi peristiwa Tanjung Morawa di Sumatra Timur. Kasus Tanjung Morawa bermula pihak keamanan berusaha memindahkan para penghuni liar dari tanah-tanah perkebunan milik Belanda. Hal ini berkaitan dengan  hasil persetujuan KMB yang mengijinkan pengusaha-pengusaha asing kembali mengurusi tanah-tanah perkebunannya yang ditinggalkannya. Penghuni liar tersebut telah dihasut oleh PKI untuk mempertahankan tanahnya sehingga terjadi tindak kekerasan yang menimbulkan korban pada masyarakat. Peristiwa tersebut menyebabkan Kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya pada presiden Sukarno.

d) Kabinet Ali Sastroamidjoyo I(Jili 1953-Juli 1955)
Kabinet ini merupakan koalisi PNI dan partai NU serta partai-partai kecil lainnya. Sementara Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) berada diluar pemerintahan. Program kerja kabinet ini antara lain:
·         Pengindonesiaan perekonomian dan memberi kesempatan kepada pengusaha pribumi.
·         Pelaksanaan perekonomiaan Ali Baba yaitu kerja sama antara pengusaha pribumi dengan pengusaha keturunan Tionghua dalam bidang perekonomian di Indonesia.

Program kabinet Ali I yang menonjol adalah penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung tanggal 18 –25 April 1955. Dalam KAA tersebut juga merekomendasikan dukungan kepada Indonesia tentang masalah Irian Barat.
Pada akhirnya kabinet ini juga mengembalikan mandatnya pada presiden tanggal 24 Juli 1955. Penyebabnya adalah masalah pergantian KSAD (Komando Staf Angkatan Darat) yang masih berkaitan dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Kabinet Ali berkeinginan mengangkat KSAD dari kelompok TNI yang anti peristiwa 17 Oktober yaitu Kolonel Bambang Utoyo namun petinggi TNI menolak dengan alasan bahwa dalam tradisi TNI, pengangkatan KSAD didasarkan pada senioritas dan kecakapan (Yahya Muhaimin, 2002:84). Parlemen akhirnya mengajukan mosi tidak percaya kepada Kabinet Ali  yang  dianggap tidak mampu menghadapi tekanan TNI-AD sehingga  mengembalikan mandatnya kepada presiden. Meskipun menurut sistem politik bahwa yang dapat menjatuhkan kabinet adalah partai-partai politik di parlemen tetapi momen jatuhnya kabinet Ali I disebabkan oleh kekuatan Angkatan Darat. Namun kabinet ini merupakan kabinet terlama yang dapat bertahan pada masa demokrasi parlementer.

e) Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956)
Setelah berlangsung perundingan  yang rumit pasca jatuhnya Kabinet Ali yang pertama ( Ali I),Burhannudin Harahap (Masyumi) berhasil menyusun kabinet yang didukung oleh Masyumi,PSI dan Partai NU. Program kabinet tersebut antara lain:
·         Pemberantasan korupsi (antara lain dengan menangkap mantan menteri kehakiman Kabinet Ali I yaitu Jody Gondokusumo dengan tuduhan korupsi).
·         Pelaksanaan pemilu I
Untuk mengurangi ketegangan dengan militer, Perdana Menteri Burhannudin mengangkat kembali A. H Nasution sebagai KSAD. Hal ini disebabkan pemerintah menginginkan dukungan militer untuk menjaga stabilitas keamanan berkaitan dengan rencana pelaksanaan pemilu.
Kabinet Burhanudin berhasil menyelenggarakan pemilu I di Indonesia dengan pelaksanaan sebagai berikut:
–29 September 1955 memilih anggota DPR
–15 Desember 1955 memilih anggota Konstituante

Hasil Pemilu 1955
Partai
Suara sah
% suara sah
Kursi Parlemen
%Kursi Parlemen
PNI
Masyumi
N U
PKI
PSII
Parkindo
Partai Katholik
PSI
Murba
Lain-lain
Jumlah
8.434.654
7.903.886
6.955.141
6.176.914
1.091.160
1.003.325
   770.740
   753.191
    199.588
 4.496.701
37.785.299
22,3
20,9
18,4
16,4
2,9
2,6
2,0
2,0
0,5
12,0
100,0
57
57
45
39
8
8
6
5
2
30
257
          22,2
          22,2
          17,5
          15,2
            3,1
            3,1
            2,3
            1,9
            0,8
            11,7
      100,0
Sumber: Sejarah Indonesia Modern,M.C Ricklefs ,1991

Kabinet Burhanudin Harahap tetap mempertahankan politik luar negeri bebas aktif meskipun tetap condong pada negara-negara Barat. Pada tanggal 13 Pebruari 1956 , kabinet mengumumkan secara sepihak untuk memutuskan Uni Indonesia-Belanda hasil dari KMB, karena Belanda menolak melakukan upaya diplomasi lanjutan tentang Irian Barat. Dengan berhasilnya Pemilu I tersebut, tugas Kabinet Burhanudin Harahap dianggap selesai dan perlu dibentuk kabinet baru hasil dari Pemilu tersebut.

e) Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (Maret 1956-Maret 1957)
Kabinet Ali II merupakan kabinet koalisi partai–partai besar hasil pemilu 1955 kecuali PKI sehinggga terdiri atas PNI,Masyumi dan Partai NU. Program kabinet tersebut disebut dengan Rencana Lima Tahun, dengan agenda sebagai berikut:
·         Perjuangan merebut Irian Barat
·         Pembentukan daerah-daerah otonom
·         Pemilihan anggota DPRD
·         Perbaikan nasib buruh dan pegawai
·         Menyehatkan keuangan negara
·         Pergantian ekonomi kolonial menjadi nasional (Nugroho Notosusanto,1977:96).
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi kabinet dalam melaksanakan agenda pemerintahan adalah:
§  Timbulnya semangat anti Cina di masyarakat
·          Hubungan memburuk dengan Belanda karena pengingkaran pemerintah Indonesia terhadap persetujuan hutang-hutangnya dalam kesepakatan KMB
§  Penyelundupan barang-barang import
§  Ketidakpuasan daerah (terutama Sumatra dan Sulawesi) tentang alokasi beaya pembangunan antara daerah dan pusat.
Ketidakpuasan daerah-daerah semakin meningkat karena dukungan dari panglima militer di daerah sehingga muncul dewan-dewan di daerah seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat. Pada tanggal 20 Juli 1956 Muhammad Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Pengunduran diri Hatta berarti terlemparnya tokoh luar Jawa yang disegani oleh Pusat. Dewan Banteng yang diketuai Let.Kol Ahmad Husein mengambil alih pemerintahan sipil di Sumatra dengan tuntutan kepada pemerintah Pusat agar Muhammad Hatta dikembalikan dalam posisi politik yang dominan dalam pemerintahan. Disamping itu mereka menuntut pembagian alokasi anggaran pembangunan yang proposional antara Pusat dan Daerah.
Pada bulan Oktober 1956 Presiden Sukarno menawarkan jalur alternatif untuk mengatasi krisis politik berupa gagasan Demokrasi Terpimpin. Menurut Sukarno, Demokrasi Terpimpin merupakan sistem musyawarah-mufakat yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Wacana Demokrasi Terpimpin tersebut menimbulkan perpecahan diparlemen karena partai-partai politik menyambut suara pro dan kontra tentang konsepsi tersebut. Partai Masyumi dan Partai Katholik menentang ide Sukarno tersebut sementara PNI dan PKI mendukungnya.
Konsepsi Demokrasi Terpimpin juga mendapat tantangan keras dari daerah terutama luar Jawa yaitu Sumatra dan Sulawesi. Krisis politik ini memuncak dengan pengunduran diri Kabinet Ali II. Namun sebelumnya Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo menendatangani dekrit yang menyatakan “Negara dalam keadaan darurat untuk semua wilayah” atau SOB (State of Siegel). Selanjutnya pemerintahan dipegang oleh Kabinet Djuanda.

g) Kabinet Djuanda (April 1957–Juli 1959)
Kabinet tersebut merupakan Zaken Kabinet, dengan programnya terdiri 5 (lima) pasal (Panca Karya) sehingga disebut kabinet karya Program kerjanya adalah :
§  Membentuk Dewan Nasional
§  Normalisasi situasi negara dan mempergiat pembangunan
§  Perjuangan merebut Irian Barat
§  Melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB (Nugroho  Notosusanto,1977:98).
Posisi kabinet Djuanda sangat kuat karena negara dalam keadaan bahaya sehingga yang berperan adalah presiden dan TNI sehingga parlemen tidak dapat mengeluarkan mosi untuk menjatuhkan kabinet. Pemerintah juga membentuk Dewan Nasional yang diketuai Sukarno, bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat serta bertugas sebagai penasehat dalam menjalankan pemerintahan dan menjaga stabilitas keamanan. Namun pada prakteknya, pembentukan Dewan Nasional tersebut untuk memperkuat otoritas Sukarno serta sebagai forum tandingan bagi pengaruh partai-partai politik di pemerintahan. Dewan Nasional yang ektra-konstitusional tersebut menurut Sukarno berkedudukan lebih tinggi dari kabinet karena dewan tersebut mencerminkan seluruh bangsa sedangkan kabinet hanya mencerminkan parlemen (Mahfud M D,2000: 54).
Dalam perkembangannya, pemerintahan tetap tidak berhasil mengatasi berbagai krisis, bahkan pergolakan di daerah semakin meningkat. Para perwira militer di daerah seperti Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Simbolon , Let. Kol Ahmad Husein dan Let. Kol Samual mengadakan pertemuan di Palembang dengan hasil berupa tuntutan  kepada pemerintah pusat yaitu:
·         Muhammad Hatta dikembalikan kedudukannya sebagai wapres
·         Jenderal Nasution beserta jajarannya harus diganti
·         Pembatasan gerakan dan paham komunis melalui Undang -undang.
Tuntutan tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah Pusat sehingga perwira daerah mengultimatum agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri. Pada tanggal 15 Pebruari 1958 Ahmad Husein memproklamirkan berdirinya PRRI (Pemerintahan Revolusioner Rebublik Indonesia) dengan Perdana Menterinya, Syfrudin Prawiranegara (tokoh Masyumi). Sementara itu di Sulawesi muncul gerakan Permesta yang mendukung PRRI sehingga pemberontakan ini disebut PRRI/Permesta.
Sementara itu Dewan Konstituante hasil pemilu 1955 yang bertugas menyusun Undang-undang Dasar gagal melaksanakan tugasnya. Keadaan ini semakin tegang dengan adanya pemberontakan PRRI/Permesta. Akhirnya presiden Sukarno memutuskan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sehingga kabinet Djuanda berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar